Minggu, 04 Januari 2015

Polemik Pilkada Langsung

Oleh : Rissa S Mulyana

RUU Pilkada yang baru saja disahkan tanggal 26 September lalu (menjadi UU Pilkada) kini menuai banyak kecaman dari berbagai kalangan masyarakat hingga kader pemerintahan karena dinilai telah mencederai demokrasi di Indonesia. Hal ini membuat masyarakat mendesak Presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, untuk segera membuat tindakan untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun hal tersebut urung dilakukan.
Dengan adanya UU Pilkada yang baru dimana pemilihan kepala daerah yakni gubernur, bupati/ walikota, diserahkan kepada DPRD, maka rakyat tidak lagi mempunyai hak untuk memilih secara langsung siapa yang akan menjadi pemimpin daerahnya. Adapun dari segi penyalahgunaan kekuasaan, terlepas dari pemilihan langsung maupun tidak langsung, praktik KKN tetaplah menjadi hal yang telah mengakar dan membudaya di kalangan para elit politik dan pemerintahan. Namun bila UU Pilkada ini jadi diberlakukan, maka kemungkinan meningkatnya terjadi praktik KKN akan semakin besar.
KPK mencatat bahwa terdapat 313 kepala daerah yang terkena kasus korupsi dan yang lebih mencengangkan lagi terdapat 3000 orang anggota DPRD yang terbukti melakukan korupsi pada 10 tahun terakhir, hal inilah yang membuat rakyat sangsi untuk menitipkan aspirasi suaranya kepada DPRD. Meskipun sebelumnya anggota DPRD telah dipilih oleh rakyat dan memegang amanah rakyat, tetap saja terdapat krisis kepercayaan di tengah masyarakat terhadap para anggota DPRD.
Menurut Inu Kencana Syafii (2005), terdapat 20 prinsip-prinsip demokrasi yang mana salah satunya adalah adanya pemilihan umum yang bebas. Selain itu, terdapat pula pendapat Asykuri Ibn Chamin (2003) bahwa terdapat 7 prinsip demokrasi yang mana salah satunya adalah kebebasan berpartisipasi. Dari beberapa teori yang dikemukaan beberapa ahli tersebut, terlihat jelas bahwa pemilihan langsung merupakan prinsip dasar dalam demokrasi.
Bila UU Pilkada ini benar akan diwariskan dan berlaku pada pemerintahan berikutnya, Jokowi-JK, maka bukan hal yang tak mungkin bahwa Indonesia mengalami kemunduran demokrasi. Padahal, demokrasi adalah apa yang telah kita perjuangkan selama 16 tahun terakhir sejak reformasi digalakan. Masyarakat tidak ingin lagi menjadi budak pemerintah apalagi bila tidak mempunyai hak untuk turut serta memilih siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Pasalnya, ciri khas demokrasi adalah kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Maka, secara tidak langsung UU Pilkada melanggar asas demokrasi.
Memang, saat ini hutang negara kita telah melebihi APBN negara, oleh sebab itu UU Pilkada yang baru dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengurangi beban pemerintah dalam pengeluaran negara. Bisa dibayangkan berapa besar dana yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelenggarakan 1 putaran Pemilu, belum lagi bila Pemilu dilaksanakan dalam 2 putaran. Maka inilah yang menjadi alasan para anggota DPRD yang mengajukan RUU Pilkada hingga akhirnya disetujui. Namun hal ini bukanlah alasan yang tepat, mengurangi pengeluaran negara bukan berarti harus merenggut hak konstitusional warga negara.
Seharusnya Pilkada secara langsung harus tetap dilaksanakan, namun dengan beberapa perbaikan karena tidak dapat dipungkiri bahwa Pilkada pada 10 tahun terakhir mengalami berbagai kerusakan dalam pelaksanaannya. Perbaikan tersebut bisa dilakukan dengan lebih meningkatkan pengawasan terhadap anggota DPRD, KPU, pamong pemerintah, dan berbagai lapisan masyarakat selaku pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan Pemilu agar tidak terjadi hal-hal yang menodai pelaksanaan Pemilu khususnya Pilkada.
Selain itu, terdapat hal yang lebih fundamental yakni meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjadi negarawan yang baik serta menjalankan asas demokrasi sesuai dengan Pancasila agar tercipta Indonesia dengan sistem pemerintahan yang lebih baik tanpa merenggut hak konstitusional kita sebagai warga negara.

Margonda, 01 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar