Oleh
: Rissa S Mulyana
RUU Pilkada yang baru saja disahkan tanggal 26 September lalu (menjadi UU Pilkada) kini
menuai banyak kecaman dari berbagai kalangan masyarakat hingga kader
pemerintahan karena dinilai telah mencederai demokrasi di Indonesia. Hal ini
membuat masyarakat mendesak Presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono,
untuk segera membuat tindakan untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah
Konstitusi (MK), namun hal tersebut urung dilakukan.
Dengan adanya UU Pilkada yang baru dimana
pemilihan kepala daerah yakni gubernur, bupati/ walikota, diserahkan kepada
DPRD, maka rakyat tidak lagi mempunyai hak untuk memilih secara langsung siapa
yang akan menjadi pemimpin daerahnya. Adapun dari segi penyalahgunaan
kekuasaan, terlepas dari pemilihan langsung maupun tidak langsung, praktik KKN
tetaplah menjadi hal yang telah mengakar dan membudaya di kalangan para elit
politik dan pemerintahan. Namun bila UU Pilkada ini jadi diberlakukan, maka
kemungkinan meningkatnya terjadi praktik KKN akan semakin besar.
KPK mencatat bahwa terdapat 313 kepala daerah yang terkena kasus korupsi dan yang lebih mencengangkan lagi terdapat
3000 orang anggota DPRD yang terbukti melakukan korupsi pada 10 tahun terakhir,
hal inilah yang membuat rakyat sangsi untuk menitipkan aspirasi suaranya kepada
DPRD. Meskipun sebelumnya anggota DPRD telah dipilih oleh rakyat dan memegang
amanah rakyat, tetap saja terdapat krisis kepercayaan di tengah masyarakat
terhadap para anggota DPRD.
Menurut Inu Kencana Syafii (2005), terdapat 20
prinsip-prinsip demokrasi yang mana salah satunya adalah adanya pemilihan umum
yang bebas. Selain itu, terdapat pula pendapat Asykuri Ibn Chamin (2003) bahwa
terdapat 7 prinsip demokrasi yang mana salah satunya adalah kebebasan
berpartisipasi. Dari beberapa teori yang dikemukaan beberapa ahli tersebut,
terlihat jelas bahwa pemilihan langsung merupakan prinsip dasar dalam
demokrasi.
Bila UU Pilkada ini benar akan diwariskan dan
berlaku pada pemerintahan berikutnya, Jokowi-JK, maka bukan hal yang tak
mungkin bahwa Indonesia mengalami kemunduran demokrasi. Padahal, demokrasi
adalah apa yang telah kita perjuangkan selama 16 tahun terakhir sejak reformasi
digalakan. Masyarakat tidak ingin lagi menjadi budak pemerintah apalagi bila
tidak mempunyai hak untuk turut serta memilih siapa yang akan menjadi pemimpinnya.
Pasalnya, ciri khas demokrasi adalah kedaulatan tertinggi berada di tangan
rakyat. Maka, secara tidak langsung UU Pilkada melanggar asas demokrasi.
Memang, saat ini hutang negara kita telah
melebihi APBN negara, oleh sebab itu UU Pilkada yang baru dianggap sebagai
salah satu solusi untuk mengurangi beban pemerintah dalam pengeluaran negara.
Bisa dibayangkan berapa besar dana yang dikeluarkan pemerintah untuk
menyelenggarakan 1 putaran Pemilu, belum lagi bila Pemilu dilaksanakan dalam 2
putaran. Maka inilah yang menjadi alasan para anggota DPRD yang mengajukan RUU
Pilkada hingga akhirnya disetujui. Namun hal ini bukanlah alasan yang tepat,
mengurangi pengeluaran negara bukan berarti harus merenggut hak konstitusional
warga negara.
Seharusnya Pilkada secara langsung harus tetap
dilaksanakan, namun dengan beberapa perbaikan karena tidak dapat dipungkiri
bahwa Pilkada pada 10 tahun terakhir mengalami berbagai kerusakan dalam
pelaksanaannya. Perbaikan tersebut bisa dilakukan dengan lebih meningkatkan
pengawasan terhadap anggota DPRD, KPU, pamong pemerintah, dan berbagai lapisan masyarakat
selaku pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan Pemilu agar tidak terjadi
hal-hal yang menodai pelaksanaan Pemilu khususnya Pilkada.
Selain itu, terdapat hal yang lebih
fundamental yakni meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjadi negarawan
yang baik serta menjalankan asas demokrasi sesuai dengan Pancasila agar
tercipta Indonesia dengan sistem pemerintahan yang lebih baik tanpa merenggut
hak konstitusional kita sebagai warga negara.
Margonda,
01 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar