Minggu, 04 Januari 2015

Gelar Tanpa Ilmu Merusak Generasi Muda Indonesia

Oleh : Rissa S Mulyana

Menuntut ilmu adalah kewajiban dan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia. Setiap manusia berusaha semaksimal yang ia bisa untuk menuntaskan jenjang pendidikannya setinggi mungkin. Bahkan kita pernah mendengar ada seorang WNI yang mempunyai 14 gelar pendidikan hingga memecahkan rekor MURI sebagai orang dengan gelar pendidikan terbanyak. Hal ini menunjukan bahwa seseorang bisa berusaha keras mengumpulkan gelar pendidikan sebagai tanda bahwa ia telah menuntut ilmu sebanyak gelar yang ia punya. Namun, apakah gelar yang dimiliki berbanding lurus dengan ilmu yang diserap? Hal inilah yang menjadi permasalahan, sering kita jumpai bahwa seseorang mempunyai ijazah sarjana namun ia tidak pernah menghadiri kuliah melainkan membayar joki.
Menurut Abraham Maslow, manusia memiliki lima tingkat kebutuhan hidup yang akan selalu berusaha untuk dipenuhi sepanjang masa hidupnya. Lima tingkatan yang dapat membedakan setiap manusia dari sisi kesejahteraan hidupnya yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan cinta dan penerimaan, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Kebutuhan yang menududuki tingkatan paling atas adalah kebutuhan akan aktualisasi diri, hal ini meliputi kebutuhan manusia untuk menyatakan eksistensi dirinya di dunia salah satunya dengan mempunyai gelar pendidikan.
Bila pendidikan termasuk dalam hierarki kebutuhan, maka tentu manusia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan pendidikan terbaik. Seperti telah dipaparkan di atas bahwa tidak selalu gelar pendidikan sejalan dengan ilmu yang diserap oleh orang tersebut. Yang menyebabkan hal ini adalah orientasi setiap orang yang berbeda dalam menempuh pendidikannya. Ada yang berorientasi untuk menimba ilmu namun ada pula orang yang berorientasi mendapat gelar pendidikan saja hanya untuk memenuhi gengsi.
Hal ini sepertinya sepele namun bila seluruh masyarakat Indonesia mempunyai gelar pendidikan yang tinggi tanpa mendapat esensi ilmu dari gelar yang ia dapat, bisa kita bayangkan bahwa akan terbentuk sumber daya manusia yang tidak kompeten di berbagai bidang. Mereka hanya bermodal gelar tanpa ilmu dan keterampilan yang mumpuni. Padahal yang menjadi kebutuhan dasar adalah ilmu pengetahuannya, bukan gelarnya. Akan menjadi percuma bila gelar dipampang di belakang nama kita sedangkan ilmu yang kita miliki tidak sehebat gelar yang kita dengar.
Sistem pendidikan di Indonesia pun terkesan lebih mementingkan gelar dibanding kompetensi yang menunjukan ilmu dan keterampilan. Masyarakat kita lebih mengejar nilai dibanding esensi ilmu. Bisa kita lihat para pelajar Indonesia yang sering kita temui akan melakukan apa saja untuk mendapatkan nilai tinggi di sekolahnya salah satunya dengan mencontek maupun mencari bocoran kunci jawaban. Ironis sekali bila harus membandingkan mana siswa yang benar-benar menimba ilmu dan mana yang hanya mengejar nilai.
Kalangan pengajar pun demikian, mereka kadang membuat siswa seolah-olah harus mencapai nilai yang ditetapkan pada mata pelajaran tertentu. Padahal setiap siswa mempunyai kecerdasan masing-masing pada setiap bidang dan tidak mungkin menguasai seluruh bidang. Kadang para pengajar melupakan hal ini hingga terbentuklah generasi yang haus akan nilai, bukan haus akan ilmu.
Efeknya, orangtua juga ikut andil dalam ‘menyalahkan’ anaknya yang tidak mampu mencapai nilai pada mata pelajaran tertentu, padahal si anak memang tidak berkemampuan di bidang tersebut namun menonjol di bidang lain yang luput dari perhatian orang tua. Terdapat beberapa orang tua yang menekan anaknya untuk mendapat pendidikan setinggi mungkin untuk memenuhi gengsi orangtuanya. Setelah mendapat penekanan sedemikian rupa, si anak akan menjalani pendidikannya tanpa peduli ilmu apa yang akan ia cari melainkan ia mengejar gelar agar dapat memuaskan gengsi orangtuanya.
Solusi yang tepat untuk menghapus paradigma masyarakat kita akan pentingnya ilmu bukan hanya gelar saja adalah dengan merombak sistem pendidikan di Indonesia. Lekas tengok negara-negara luar yang tidakmembebankan seabreg mata pelajaran pada siswanya melainkan siswa bebas memilih mata pelajaran yang dia suka sehingga para siswa dapat dengan baik mengembangkan potensinya di bidang tersebut. Sehingga gelar-gelar yang mereka miliki berbanding lurus dengan ilmu dan kompetensi yang dimilikinya.
Bila saja Indonesia mau merombak sistem pendidikannya, barangkali masyarakat kita akan melek akan pentingnya esensi ilmu disamping gelar pendidikan yang tinggi. Kualitas SDM Indonesia akan meningkat dan mampu bersaing dengan negara-negara maju. Genarasi muda Indonesia akan mampu mengangkat negeri ini menjadi negara yang lebih baik dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki bukan sekadar gelar tanpa kompetensi. Semoga saja dengan adanya pemerintahan yang baru dan menteri pendidikan yang baru maka terdapat pencerahan bagi dunia pendidikan di Indonesia, kita berharap yang terbaik untuk negeri ini. Semoga.


Kelapa Dua, 05 Januari 2015 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar