Oleh : Rissa S Mulyana
Menuntut ilmu adalah kewajiban dan kebutuhan yang
harus dipenuhi oleh manusia. Setiap manusia berusaha semaksimal yang ia bisa
untuk menuntaskan jenjang pendidikannya setinggi mungkin. Bahkan kita pernah
mendengar ada seorang WNI yang mempunyai 14 gelar pendidikan hingga memecahkan
rekor MURI sebagai orang dengan gelar pendidikan terbanyak. Hal ini menunjukan
bahwa seseorang bisa berusaha keras mengumpulkan gelar pendidikan sebagai tanda
bahwa ia telah menuntut ilmu sebanyak gelar yang ia punya. Namun, apakah gelar
yang dimiliki berbanding lurus dengan ilmu yang diserap? Hal inilah yang
menjadi permasalahan, sering kita jumpai bahwa seseorang mempunyai ijazah
sarjana namun ia tidak pernah menghadiri kuliah melainkan membayar joki.
Menurut Abraham
Maslow, manusia memiliki lima tingkat kebutuhan hidup yang akan selalu berusaha
untuk dipenuhi sepanjang masa hidupnya. Lima tingkatan yang dapat membedakan
setiap manusia dari sisi kesejahteraan hidupnya yakni kebutuhan fisiologis,
kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan cinta dan penerimaan, kebutuhan akan
penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Kebutuhan yang menududuki
tingkatan paling atas adalah kebutuhan akan aktualisasi diri, hal ini meliputi
kebutuhan manusia untuk menyatakan eksistensi dirinya di dunia salah satunya
dengan mempunyai gelar pendidikan.
Bila pendidikan
termasuk dalam hierarki kebutuhan, maka tentu manusia akan berusaha semaksimal
mungkin untuk mendapatkan pendidikan terbaik. Seperti telah dipaparkan di atas
bahwa tidak selalu gelar pendidikan sejalan dengan ilmu yang diserap oleh orang
tersebut. Yang menyebabkan hal ini adalah orientasi setiap orang yang berbeda
dalam menempuh pendidikannya. Ada yang berorientasi untuk menimba ilmu namun
ada pula orang yang berorientasi mendapat gelar pendidikan saja hanya untuk
memenuhi gengsi.
Hal ini sepertinya
sepele namun bila seluruh masyarakat Indonesia mempunyai gelar pendidikan yang
tinggi tanpa mendapat esensi ilmu dari gelar yang ia dapat, bisa kita bayangkan
bahwa akan terbentuk sumber daya manusia yang tidak kompeten di berbagai
bidang. Mereka hanya bermodal gelar tanpa ilmu dan keterampilan yang mumpuni. Padahal
yang menjadi kebutuhan dasar adalah ilmu pengetahuannya, bukan gelarnya. Akan menjadi
percuma bila gelar dipampang di belakang nama kita sedangkan ilmu yang kita
miliki tidak sehebat gelar yang kita dengar.
Sistem pendidikan
di Indonesia pun terkesan lebih mementingkan gelar dibanding kompetensi yang
menunjukan ilmu dan keterampilan. Masyarakat kita lebih mengejar nilai
dibanding esensi ilmu. Bisa kita lihat para pelajar Indonesia yang sering kita
temui akan melakukan apa saja untuk mendapatkan nilai tinggi di sekolahnya
salah satunya dengan mencontek maupun mencari bocoran kunci jawaban. Ironis sekali
bila harus membandingkan mana siswa yang benar-benar menimba ilmu dan mana yang
hanya mengejar nilai.
Kalangan pengajar
pun demikian, mereka kadang membuat siswa seolah-olah harus mencapai nilai yang
ditetapkan pada mata pelajaran tertentu. Padahal setiap siswa mempunyai
kecerdasan masing-masing pada setiap bidang dan tidak mungkin menguasai seluruh
bidang. Kadang para pengajar melupakan hal ini hingga terbentuklah generasi
yang haus akan nilai, bukan haus akan ilmu.
Efeknya, orangtua
juga ikut andil dalam ‘menyalahkan’ anaknya yang tidak mampu mencapai nilai
pada mata pelajaran tertentu, padahal si anak memang tidak berkemampuan di
bidang tersebut namun menonjol di bidang lain yang luput dari perhatian orang
tua. Terdapat beberapa orang tua yang menekan anaknya untuk mendapat pendidikan
setinggi mungkin untuk memenuhi gengsi orangtuanya. Setelah mendapat penekanan
sedemikian rupa, si anak akan menjalani pendidikannya tanpa peduli ilmu apa
yang akan ia cari melainkan ia mengejar gelar agar dapat memuaskan gengsi
orangtuanya.
Solusi yang tepat
untuk menghapus paradigma masyarakat kita akan pentingnya ilmu bukan hanya
gelar saja adalah dengan merombak sistem pendidikan di Indonesia. Lekas tengok
negara-negara luar yang tidakmembebankan seabreg
mata pelajaran pada siswanya melainkan siswa bebas memilih mata pelajaran
yang dia suka sehingga para siswa dapat dengan baik mengembangkan potensinya di
bidang tersebut. Sehingga gelar-gelar yang mereka miliki berbanding lurus
dengan ilmu dan kompetensi yang dimilikinya.
Bila saja Indonesia
mau merombak sistem pendidikannya, barangkali masyarakat kita akan melek akan
pentingnya esensi ilmu disamping gelar pendidikan yang tinggi. Kualitas SDM
Indonesia akan meningkat dan mampu bersaing dengan negara-negara maju. Genarasi
muda Indonesia akan mampu mengangkat negeri ini menjadi negara yang lebih baik
dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki bukan sekadar gelar tanpa
kompetensi. Semoga saja dengan adanya pemerintahan yang baru dan menteri
pendidikan yang baru maka terdapat pencerahan bagi dunia pendidikan di
Indonesia, kita berharap yang terbaik untuk negeri ini. Semoga.
Kelapa
Dua, 05 Januari 2015