Minggu, 04 Januari 2015

Gelar Tanpa Ilmu Merusak Generasi Muda Indonesia

Oleh : Rissa S Mulyana

Menuntut ilmu adalah kewajiban dan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia. Setiap manusia berusaha semaksimal yang ia bisa untuk menuntaskan jenjang pendidikannya setinggi mungkin. Bahkan kita pernah mendengar ada seorang WNI yang mempunyai 14 gelar pendidikan hingga memecahkan rekor MURI sebagai orang dengan gelar pendidikan terbanyak. Hal ini menunjukan bahwa seseorang bisa berusaha keras mengumpulkan gelar pendidikan sebagai tanda bahwa ia telah menuntut ilmu sebanyak gelar yang ia punya. Namun, apakah gelar yang dimiliki berbanding lurus dengan ilmu yang diserap? Hal inilah yang menjadi permasalahan, sering kita jumpai bahwa seseorang mempunyai ijazah sarjana namun ia tidak pernah menghadiri kuliah melainkan membayar joki.
Menurut Abraham Maslow, manusia memiliki lima tingkat kebutuhan hidup yang akan selalu berusaha untuk dipenuhi sepanjang masa hidupnya. Lima tingkatan yang dapat membedakan setiap manusia dari sisi kesejahteraan hidupnya yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan cinta dan penerimaan, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Kebutuhan yang menududuki tingkatan paling atas adalah kebutuhan akan aktualisasi diri, hal ini meliputi kebutuhan manusia untuk menyatakan eksistensi dirinya di dunia salah satunya dengan mempunyai gelar pendidikan.
Bila pendidikan termasuk dalam hierarki kebutuhan, maka tentu manusia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan pendidikan terbaik. Seperti telah dipaparkan di atas bahwa tidak selalu gelar pendidikan sejalan dengan ilmu yang diserap oleh orang tersebut. Yang menyebabkan hal ini adalah orientasi setiap orang yang berbeda dalam menempuh pendidikannya. Ada yang berorientasi untuk menimba ilmu namun ada pula orang yang berorientasi mendapat gelar pendidikan saja hanya untuk memenuhi gengsi.
Hal ini sepertinya sepele namun bila seluruh masyarakat Indonesia mempunyai gelar pendidikan yang tinggi tanpa mendapat esensi ilmu dari gelar yang ia dapat, bisa kita bayangkan bahwa akan terbentuk sumber daya manusia yang tidak kompeten di berbagai bidang. Mereka hanya bermodal gelar tanpa ilmu dan keterampilan yang mumpuni. Padahal yang menjadi kebutuhan dasar adalah ilmu pengetahuannya, bukan gelarnya. Akan menjadi percuma bila gelar dipampang di belakang nama kita sedangkan ilmu yang kita miliki tidak sehebat gelar yang kita dengar.
Sistem pendidikan di Indonesia pun terkesan lebih mementingkan gelar dibanding kompetensi yang menunjukan ilmu dan keterampilan. Masyarakat kita lebih mengejar nilai dibanding esensi ilmu. Bisa kita lihat para pelajar Indonesia yang sering kita temui akan melakukan apa saja untuk mendapatkan nilai tinggi di sekolahnya salah satunya dengan mencontek maupun mencari bocoran kunci jawaban. Ironis sekali bila harus membandingkan mana siswa yang benar-benar menimba ilmu dan mana yang hanya mengejar nilai.
Kalangan pengajar pun demikian, mereka kadang membuat siswa seolah-olah harus mencapai nilai yang ditetapkan pada mata pelajaran tertentu. Padahal setiap siswa mempunyai kecerdasan masing-masing pada setiap bidang dan tidak mungkin menguasai seluruh bidang. Kadang para pengajar melupakan hal ini hingga terbentuklah generasi yang haus akan nilai, bukan haus akan ilmu.
Efeknya, orangtua juga ikut andil dalam ‘menyalahkan’ anaknya yang tidak mampu mencapai nilai pada mata pelajaran tertentu, padahal si anak memang tidak berkemampuan di bidang tersebut namun menonjol di bidang lain yang luput dari perhatian orang tua. Terdapat beberapa orang tua yang menekan anaknya untuk mendapat pendidikan setinggi mungkin untuk memenuhi gengsi orangtuanya. Setelah mendapat penekanan sedemikian rupa, si anak akan menjalani pendidikannya tanpa peduli ilmu apa yang akan ia cari melainkan ia mengejar gelar agar dapat memuaskan gengsi orangtuanya.
Solusi yang tepat untuk menghapus paradigma masyarakat kita akan pentingnya ilmu bukan hanya gelar saja adalah dengan merombak sistem pendidikan di Indonesia. Lekas tengok negara-negara luar yang tidakmembebankan seabreg mata pelajaran pada siswanya melainkan siswa bebas memilih mata pelajaran yang dia suka sehingga para siswa dapat dengan baik mengembangkan potensinya di bidang tersebut. Sehingga gelar-gelar yang mereka miliki berbanding lurus dengan ilmu dan kompetensi yang dimilikinya.
Bila saja Indonesia mau merombak sistem pendidikannya, barangkali masyarakat kita akan melek akan pentingnya esensi ilmu disamping gelar pendidikan yang tinggi. Kualitas SDM Indonesia akan meningkat dan mampu bersaing dengan negara-negara maju. Genarasi muda Indonesia akan mampu mengangkat negeri ini menjadi negara yang lebih baik dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki bukan sekadar gelar tanpa kompetensi. Semoga saja dengan adanya pemerintahan yang baru dan menteri pendidikan yang baru maka terdapat pencerahan bagi dunia pendidikan di Indonesia, kita berharap yang terbaik untuk negeri ini. Semoga.


Kelapa Dua, 05 Januari 2015 

Polemik Pilkada Langsung

Oleh : Rissa S Mulyana

RUU Pilkada yang baru saja disahkan tanggal 26 September lalu (menjadi UU Pilkada) kini menuai banyak kecaman dari berbagai kalangan masyarakat hingga kader pemerintahan karena dinilai telah mencederai demokrasi di Indonesia. Hal ini membuat masyarakat mendesak Presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, untuk segera membuat tindakan untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun hal tersebut urung dilakukan.
Dengan adanya UU Pilkada yang baru dimana pemilihan kepala daerah yakni gubernur, bupati/ walikota, diserahkan kepada DPRD, maka rakyat tidak lagi mempunyai hak untuk memilih secara langsung siapa yang akan menjadi pemimpin daerahnya. Adapun dari segi penyalahgunaan kekuasaan, terlepas dari pemilihan langsung maupun tidak langsung, praktik KKN tetaplah menjadi hal yang telah mengakar dan membudaya di kalangan para elit politik dan pemerintahan. Namun bila UU Pilkada ini jadi diberlakukan, maka kemungkinan meningkatnya terjadi praktik KKN akan semakin besar.
KPK mencatat bahwa terdapat 313 kepala daerah yang terkena kasus korupsi dan yang lebih mencengangkan lagi terdapat 3000 orang anggota DPRD yang terbukti melakukan korupsi pada 10 tahun terakhir, hal inilah yang membuat rakyat sangsi untuk menitipkan aspirasi suaranya kepada DPRD. Meskipun sebelumnya anggota DPRD telah dipilih oleh rakyat dan memegang amanah rakyat, tetap saja terdapat krisis kepercayaan di tengah masyarakat terhadap para anggota DPRD.
Menurut Inu Kencana Syafii (2005), terdapat 20 prinsip-prinsip demokrasi yang mana salah satunya adalah adanya pemilihan umum yang bebas. Selain itu, terdapat pula pendapat Asykuri Ibn Chamin (2003) bahwa terdapat 7 prinsip demokrasi yang mana salah satunya adalah kebebasan berpartisipasi. Dari beberapa teori yang dikemukaan beberapa ahli tersebut, terlihat jelas bahwa pemilihan langsung merupakan prinsip dasar dalam demokrasi.
Bila UU Pilkada ini benar akan diwariskan dan berlaku pada pemerintahan berikutnya, Jokowi-JK, maka bukan hal yang tak mungkin bahwa Indonesia mengalami kemunduran demokrasi. Padahal, demokrasi adalah apa yang telah kita perjuangkan selama 16 tahun terakhir sejak reformasi digalakan. Masyarakat tidak ingin lagi menjadi budak pemerintah apalagi bila tidak mempunyai hak untuk turut serta memilih siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Pasalnya, ciri khas demokrasi adalah kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Maka, secara tidak langsung UU Pilkada melanggar asas demokrasi.
Memang, saat ini hutang negara kita telah melebihi APBN negara, oleh sebab itu UU Pilkada yang baru dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengurangi beban pemerintah dalam pengeluaran negara. Bisa dibayangkan berapa besar dana yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelenggarakan 1 putaran Pemilu, belum lagi bila Pemilu dilaksanakan dalam 2 putaran. Maka inilah yang menjadi alasan para anggota DPRD yang mengajukan RUU Pilkada hingga akhirnya disetujui. Namun hal ini bukanlah alasan yang tepat, mengurangi pengeluaran negara bukan berarti harus merenggut hak konstitusional warga negara.
Seharusnya Pilkada secara langsung harus tetap dilaksanakan, namun dengan beberapa perbaikan karena tidak dapat dipungkiri bahwa Pilkada pada 10 tahun terakhir mengalami berbagai kerusakan dalam pelaksanaannya. Perbaikan tersebut bisa dilakukan dengan lebih meningkatkan pengawasan terhadap anggota DPRD, KPU, pamong pemerintah, dan berbagai lapisan masyarakat selaku pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan Pemilu agar tidak terjadi hal-hal yang menodai pelaksanaan Pemilu khususnya Pilkada.
Selain itu, terdapat hal yang lebih fundamental yakni meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjadi negarawan yang baik serta menjalankan asas demokrasi sesuai dengan Pancasila agar tercipta Indonesia dengan sistem pemerintahan yang lebih baik tanpa merenggut hak konstitusional kita sebagai warga negara.

Margonda, 01 Oktober 2014

Seminar Parenting (Be Smart Parents, Raise Brilliant Children!)

FUSI (Forum Ukhuwah dan Studi Islam) Fakultas Psikologi UI kali ini mempunyai serangkaian acara spesial yang berpuncak pada tanggal 20-21 Desember 2014 yakni PAGII 2014 (Psikologi Bicara Generasi Masa Kini untuk Nanti). Rangkaian acara tersebut dari Seminar Parenting dan Workshop Womanpreuneur pada tanggal 20 Desember 2014 serta Lomba Esai mengenai psikologi Islam yang dimulai dari November 2014 dan mencapai puncaknya pada 21 Desember 2014.
Penulis kali ini menghadiri salah satu rangkaian acara saja yakni Seminar Parenting yang bertempat di Auditorium Gedung H Fakultas Psikologi UI. Seminar ini mempunyai tema ‘Be Smart Parents, Raise Brilliant Children!’ dengan menghadirkan 2 orang pembicara yakni Ustadz Budi Darmawan dan Mommy Balqis. Adapun pesertanya terbuka bagi mahasiswa UI dan umum.
Seminar ini diadakan sebagai bentuk kontribusi Fakultas Psikologi UI bagi perkembangan psikologi Islam di Indonesia. Pasalnya, psikologi adalah ilmu yang lahir dan berkembang di dunia barat sehingga sedikit sekali referensi maupun teori-teori yang sesuai dengan ajaran Islam. Salah satu aspek penting yakni pola asuh orang tua terhadap anak dari sudut pandang Islam.

Acara dimulai pada pukul 09.00 WIB dengan pembacaan ayat suci Al-Quran oleh 2 orang mahasiswa dari Fakultas Psikologi UI, dilanjutkan dengan pembukaan dari Ketua Pelaksana PAGII 2014 (Madasaina Putri), Ketua Umum FUSI (Gesang Ridho Subhan), Perwakilan Fakultas Psikologi UI (Gagan, S.Psi, M.Psi). Kemudian masuk pada acara inti dengan Salsabila Mayangsari sebagai moderator seminar ini.


Ustadz Budi Darmawan (kiri), Mommy Balqis (tengah), dan Salsabila Mayangsari (kanan) sebagai moderator.
Pembicara pertama adalah Ustadz Budi Darmawan, S.Psi, yang juga sebagai mantan suami Almh. Yoyoh Yusroh. Dalam materinya ia menyampaikan bagaimana pola asuh yang baik untuk mencetak anak yang soleh dan solehah disebut sebagai Generasi Qurani. Ia memberikan 5 aspek mendidik anak dalam Islam yang terdiri dari Al-Qudwah (keteladanan), Al-‘Aadah (pembiasaan), Al-Mulahazhoh (pengawasan), An-Nashihah (nasehat), Al-‘Uquubah (hukuman). Kelima aspek tersebut harus diterapkan secara berurut karena berpengaruh terhadap karakter anak. Ia telah menerapkan pola asuh yang baik terhadap anak-anaknya terbukti dengan ke-13 anaknya menjadi hafidz dan hafidzah Al-Quran juga berprestasi di bidang akademis lainnya.
Pembicara yang kedua adalah Mommy Balqis, seorang entrepreneur yang merintis usaha bersama suaminya dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Ia dikenal melalui akun twitternya @babyhijabertwit, di sosial medialah ia berbagi info mengenai bagaimana pola asuh yang baik bagi anak-anak juga berdakwah mengajak para muslimah untuk berhijab syar’i. Mommy Balqis berpendapat bahwa pada dasarnya setiap anak terlahir cerdas pada bidangnya masing-masing, oleh karena itu para orang tua harus mengenal dan memahami potensi anak agar ia dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Ia juga berbagi bagaimana caranya membagi waktu antara karir dan keluarga terutama quality time bersama anak-anak, bagaimana membangun komunikasi yang baik antara orang tua dan anak juga berbagai tipe pola asuh orang tua terhadap anak.
Setelah seminar selesai, acara diserahkan kembali kepada MC dan diisi dengan game juga doorprize, lalu ditutup dengan lagu Yang Terbaik Bagimu - Ada Band yang dibawakan oleh salah satu anggota FUSI angkatan 2014. Secara umum seluruh rangkaian acara Seminar Parenting ini berjalan lancar.


Oleh : Rissa S Mulyana

Sabtu, 03 Januari 2015

#Selfie bersama Hijab Alila


Pada hari Minggu, 14 Desember 2014 lalu, Hijab Alila mengadakan sebuah event yang bertema ‘Sebaik-baik Selfie adalah Muhasabah Diri’. Acara ini berjenis talkshow dan mengambil lokasi di Gedung SMESCO UKM yang beralamat di Jalan Jendral Gatot Subroto Kav. 94 Jakarta, menghadirkan para pembicara terkemuka yakni Ustadz Felix Siauw, Yulia Rahman, Sarah Vi, Nuri Maulida dan Lyra Virna.
Brosur event #Selfie bersama Hijab Alila
Menurut agenda yang terpampang di brosur event tersebut, maka pukul 08.00 WIB seharusnya acara sudah dimulai. Namun entah ada alasan apa, acara tersebut baru dimulai pukul 09.00 WIB, terlambat 1 jam setelah sebelumnya sempat ada kejadian berdesak-desakan untuk memasuki auditorium tempat berlangsungnya acara karena para peserta berebut tempat duduk yang terdepan. Walaupun begitu, para peserta talkshow yang seluruhnya adalah muslimah tetap antusias menantikan para pembicara yang hadir.
Dipimpin oleh moderator, acara diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Quran. Setelah itu dihadirkanlan pembicara pertama yakni Sarah Vi. Pada sesi kali ini, Sarah Vi diminta untuk menceritakan perjalanan hijrahnya untuk berhijab syar’i. Seperti kita ketahui, dulu Sarah Vi adalah seorang aktris yang sama sekali tidak mengenakan hijab. Namun hidayah datang melalui perantara adik dan anaknya, Aisyah, yang masih belia. Kini ia menikmati kehidupannya setelah berhijab walaupun sempat mengalami berbagai goncangan seperti ditinggalkan oleh teman-temannya sesama aktris.
Pada sesi kedua, hadir Yulia Rahman. Mantan istri seorang ilusionis, Demian, kini tampil lebih cantik dan anggun dengan hijabnya yang syar’i. Berbeda dengan pembicara lainnya, ia mengisi acara ini tanpa didampingi moderator. Ia berperan layaknya motivator yang membawakan presentasinya sendiri. Namun efeknya kepada para peserta bisa dirasakan, Yulia membawakan seluruh materi dengan sangat memukau dan membakar motivasi para peserta untuk senantiasa istiqomah dalam beribadah. Ia juga sedikit menyinggung tentang perjalanan hijrahnya sehingga ia berhijab syar’i seperti sekarang.
Nuri Maulida saat bercerita tentang perjalanan hijrahnya.

Sesuai temanya, acara ini memang khusus ditujukan bagi para muslimah untuk memberikan pemahaman mengenai selfie. Seperti kita ketahui bahwa akhir-akhir ini fenomena selfie telah menjamur dimana-mana khususnya kalangan remaja wanita. Melalui acara ini, Ustadz Felix Siauw menyampaikan dakwahnya bahwa dalam Islam seorang wanita haruslah menjaga dirinya, harga dirinya, dan jati dirinya sebagai seorang muslimah. Ustadz Felix mengatakan bahwa ketika seorang muslimah memajang foto pribadinya di sosial media, ia tidak akan pernah tahu akan diapakan foto itu dan oleh siapa. Maka dari itu alangkah baiknya bila kita menjaga diri, menghindari riya dan ujub salah satunya dengan tidak memajang foto pribadi yang mengundang syahwat di sosial media.
Ustadz Felix juga menambahkan bahwa sebaik-baiknya selfie adalah muhasabah diri, maksudnya adalah kita berintrospeksi sudah sejauh mana kita berjuang untuk agama Islam, amalan apa saja yang sudah kita punya untuk bekal di akhirat nanti, maka jangan lelah untuk bermuhasabah dan terus memperbaiki diri, itulah ciri muslimah sejati.
Ustadz Felix didampingi istri (Mbak Iin) ketika menyampaikan materi.

Sesi demi sesi berlangsung dengan lancar tanpa hambatan yang berarti. Pada pukul 12.00-13.00 WIB peserta diberi waktu istirahat untuk melaksanakan shalat Dzuhur dan diberi voucher makan siang. Acara ini berakhir pukul 16.00 WIB dengan launching produk terbaru dari Hijab Alila sebagai penutup.

Oleh : Rissa S Mulyana

Rokok di Indonesia


 Oleh : Rissa S Mulyana

Dewasa ini merokok merupakan kegiatan yang hampir membudaya di Indonesia. Pelakunya sudah tak mengenal usia mulai dari anak usia dini sampai lansia yang sudah menjadi smoker addict. Dilihat dari segi kesehatan, telah terpampang jelas bahwa merokok dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit berbahaya seperti kanker, impoten, gangguan kehamilan dan janin, serta penyakit-penyakit lain yang dapat mengancam kelangsungan hidup.
Bukan hanya diri sendiri yang dirugikan tetapi juga merugikan orang lain. Seseorang yang tidak merokok mempunyai dampak yang lebih buruk dari si perokok itu sendiri karena asap yang dihirup beresiko lebih besar untuk mengancam kesehatan. Orang inilah yang disebut dengan passive smoker. Ia tidak merokok namun ikut pula terkena dampaknya. Dari awal saja sudah jelas bahwa rokok sama sekali tidak menyimpan manfaat bagi kelangsungan hidup manusia.
Terlepas dari itu, ada hal yang paling berbahaya yakni efek kecanduan yang ditimbulkan dari rokok karena dari sinilah semua penyakit di atas berasal. Mengapa demikian? Karena bila seseorang telah menjadi seorang smoker addict (perokok berat) akibat efek candu tersebut, ia akan sulit untuk ‘lepas’ dari rokok. Rokok tidak akan menjadi masalah selama barang tersebut tidak menyebabkan kecanduan, sehingga barangkali seseorang yang baru pertama kali mencoba rokok bisa langsung sama sekali tidak tertarik untuk merokok. Namun inilah yang menjadikan rokok bisa menempel pada seseorang, yakni efek candu yang diakibatkannya.
Masalah yang timbul adalah bagaimana mengurangi populasi manusia, khususnya masyarakat Indonesia, yang kecanduan rokok bila rokok tersebar dimana-mana dan sangat mudah didapatkan. Bisa kita jumpai hampir seluruh minimarket, pasar swalayan, warung-warung kecil, bahkan pedagang asongan pun menjual rokok. Hal ini menjadi masalah yang sulit terpecahkan sejak beberapa tahun ke belakang ketika isu global warming mulai menyeruak. Berbagai lembaga yang peduli dengan lingkungan terus mengajak masyarakat untuk mereduksi produksi CO2 yang berbahaya bagi lingkungan termasuk dari asap rokok. Namun sebanding dengan aksi berbagai lembaga tersebut, para smoker addict pun terus beranak-pinak.
Menurut beberapa teori kecanduan, perilaku kecanduan dapat ditimbulkan oleh adanya penggunaan subtansi bersama dengan teman sebaya dan orang lain. Pendapat lain juga mengatakan bahwa kecanduan bisa merupakan hasil observasi penggunaan substansi dan penyalahgunaan yang dilakukan oleh role model seperti orang tua (Boden, 2008). Dari teori yang dikemukakan para ahli tersebut terlihat jelas dan relevan pada masa kini dimana para pecandu rokok telah mengenal rokok lebih awal dari teman sebaya maupun orang tua. Terlihat jelas bahwa lingkungan amat berpengaruh bagi perilaku mereka sehingga menjadi seorang pecandu rokok, selain lingkungan keluarga dan teman sebaya, lingkungan masyarakat di luar juga turut berpengaruh.
Bila melihat negera-negara luar, regulasi yang mengatur rokok diatur dengan jelas dan tegas oleh pemerintah sehingga kita tidak akan banyak menemukan para perokok yang merokok di sembarang tempat. Di Indonesia, memang terdapat peraturan yang mengatur tentang aktivitas yang satu ini, dimulai dari slogan-slogan sepintas pandang hingga diatur dalam Undang-Undang, namun tetap saja dipandang sebelah mata oleh masyarakat sehingga merokok masih merupakan kegiatan lumrah yang bisa dilakukan dimana saja.
Telah banyak upaya yang dilakukan masyarakat untuk mengurangi populasi perokok di Indonesia. Dari mulai sosialisasi di kalangan para akademisi, komunitas sosial hingga menerapkan denda atau menyediakan area khusus merokok di tempat umum. Memang berbagai upaya tersebut telah cukup membantu walaupun masih berdampak kecil, kita perlu mencari opsi-opsi lain sebagai solusi yang ampuh untuk memberantas rokok agar tidak menjadi sebuah budaya di Tanah Air.
Beberapa solusi efektif yang dapat dilakukan adalah dimulai dari hal-hal kecil misalnya peran para orangtua perokok maupun non-perokok untuk menanamkan pemahaman kepada anaknya bahwa rokok itu berbahaya bagi kesehatan. Berbagai komunitas anti-rokok juga bisa menjadi wadah untuk ‘berjuang’ memberantas rokok di Indonesia, mereka sering mengadakan aksi untuk ‘membuka mata’ para perokok yang sedang merokok di tempat umum. Misalnya dengan memberikan permen disertai ajakan halus untuk mengganti rokok tersebut denagn permen.   

Selain hal-hal tersebut, harus terdapat regulasi yang tegas dari pemerintah dalam mengatur rokok, kegiatan merokok, dan para perokok. Regulasi tanpa tindakan nyata hanya akan dipandang sebelah mata seperti yang telah terjadi sebelumnya. Semoga Indonesia mampu menegakkan regulasi yang ada maupun yang akan dibuat untuk memberantas masalah yang telah mengakar dan hampir menjadi budaya di negeri ini. Tindakan nyata dari pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan dalam hal ini. Bila seluruh aspek saling sokong membantu, maka bukan tak mungkin Indonesia mampu menjadi negeri tanpa asap rokok. Semoga.

Cikarang, 03 Januari 2015

Jumat, 02 Januari 2015

Surat Kaleng


Oleh : Rissa S Mulyana

Mari bermain pengandaian
Bukankah sajak adalah sederas-derasnya derai rasa?
Dengar satu-dua mulutku patah-patah mengeja :
Sayang,
Bila esok pagi tak kau dapati birunya semesta
Tak kau dengar riuhnya camar
Tak kau hirup dan rasai sedapnya isi periuk
Tak kau jamah lembutnya sutera
Masihkah sudi cintamu kupagut?
Masihkah engkau pelipur kemelut?
Masihkah namamu kukecup lembut?

Rindu menguap usai hujan petang tadi
Selasar hati masih ringkih abaikan pilu
Lidah tak sampai bertemu lelah
Temaram menyaksikanku menguntai doa
Sayangku,
Napas ini disesaki pelangi rasa
Ada kau di sana
Bila saja bisa, mau kubuatkan sepasang sayap
Biar kita melesat menembus batas
Biar kau dan aku dicatat prasasti
Abadi dalam kisah-kisah sejati

Namun labirin gersang menghisap telapak kakiku
Berpaculah dengan waktu!
Barangkali,
bila tak kau dapati batang hidungku pada suatu pagi,
cinta ini hanya mengenal engkau.

Margonda, 08 Nov 2014