ANALISIS VIDEO
Dalam video tersebut, subjek mengaku
bahwa kakak laki-lakinya akan menikah dalam 6 bulan ke depan dan subjek akan
mengiringi pengantin laki-laki sebagai groomsmen untuk berjalan di sepanjang altar bersama
beberapa bridesmaid, hal tersebut membuatnya cemas, karena subjek selalu merasa
cemas bila merasakan kehadiran banyak perempuan.
Kemudian terapis memulai langkah terapi
dengan cara meminta subjek untuk membayangkan beberapa situasi yang melibatkan
subjek dan beberapa perempuan, lalu subjek diminta untuk memberikan rate atau nilai
antara 0-100 yang menunjukkan tingkat rasa cemas subjek. Semakin tinggi nilai
yang diberikan subjek, maka situasi yang dibayangkan semakin menimbulkan rasa
cemas bagi subjek.
Subjek diminta untuk relaks dan menutup
mata sambil membayangkan berbagai situasi yang terapis akan sebutkan kemudian. Gambaran
situasi pertama adalah subjek telah berbelanja di sebuah toko dan akan
melakukan pembayaran di kasir. Kasir di toko tersebut adalah seorang perempuan
lalu kasir memulai pembicaraan dengan cara memuji penampilan subjek. Pada
situasi tersebut, subjek memberi skala 65. Kemudian terapis memberi gambaran
situasi kedua yaitu subjek berbelanja di supermarket dan berpapasan dengan
seorang perempuan yang sedang memilih produk kalengan. Untuk gambaran situasi
kedua, subjek memberi nilai 15.
Gambaran situasi selanjutnya yaitu
subjek masih di supermarket, memilih beberapa buah apel kemudian datang seorang
perempuan tak dikenal dan melontarkan sebuah pertanyaan kepadanya. Untuk
situasi tersebut, subjek memberi nilai 50. Sementara itu, ketika terapis
memberikan gambaran situasi berupa datangnya beberapa laki-laki menghampiri
subjek ketika dirinya sedang memilih apel, subjek memberi nilai 0, artinya
situasi tersebut sama sekali tidak menimbulkan kecemasan bagi subjek. Situasi berikutnya yang digambarkan
yaitu subjek menjadi groomsmen dan
tibalah saatnya untuk saling berbincang dengan para bridesmaid. Subjek memberi nilai 75 untuk situasi tersebut.
Setelah itu, terapis meminta subjek
untuk mengepalkan otot-otot kaki dan tangan, kemudian meminta subjek kembali
relaks dengan menarik nafas, membiarkan tangan terkulai di samping kursi, dan
menutup mata sambil membayangkan hal-hal yang membuat subjek relaks.
Pada sesi berikutnya, terapis kembali
memulai memberikan gambaran situasi yang memiliki kemungkinan memunculkan
kecemasan paling rendah. Subjek memberi nilai 15 lalu terapis meminta
subjek untuk melakukan teknik relaksasi yang sebelumnya telah dijelaskan.
Terapi terus berlanjut namun video di atas tidak menampilkan keseluruhan proses
terapi.
TEORI DESENSITISASI SISTEMATIS
Video yang telah dijelaskan di atas
merupakan salah satu bentuk teknik terapi behavioristik yaitu desensitisasi
sistematis. Desensitisasi sistematis adalah teknik terapi untuk menghilangkan
rasa takut, cemas, maupun fobia terhadap stimulus tertentu secara bertahap atau
sistematis. Sistematis di sini memiliki arti bahwa setelah terapis
menyelesaikan desensitisasi pada satu level rasa takut, maka subjek baru dapat
mulai melakukan desensitisasi pada level rasa takut selanjutnya (Hastjarjo,
2005).
Teknik terapi ini dikembangkan oleh Joseph
Wolpe. Menurut Armasari, Dantes, dan Sulastri (2013), desensitisasi sistematis
berupaya mengkondisikan individu dari yang tidak nyaman menjadi lebih tenang
dan rileks sehingga mampu meminimalisir kecemasan dalam menghadapi stimulus
yang menimbulkan kecemasan.
Desensitisasi sistematis terdiri dari
tiga tahap yaitu :
1.
Melatih
relaksasi otot secara mendalam
2.
Menyusun
hierarki kecemasan (urutan kecemasan)
3. Mengkhayalkan
stimulus-stimulus yang menimbulkan kecemasan yang diimbangi dengan relaksasi.
DAFTAR PUSTAKA
Armasari, K.D., Dantes, N., &
Sulastri, M. (2013). Penerapan model konseling behavioral dengan teknik
desensitisasi sistematis untuk meminimalisasi tingkat kecemasan dalam proses
pembelajaran siswa kelas VIII A2 SMP negeri 2 sawan tahun pelajaran 2012/2013. Jurnal Ilmiah Bimbingan Konseling, 1(1).
Hastjarjo, T. D. (2005). Perkembangan mutakhir
kondisioning pavlovian. Buletin Psikologi, 13(1), 1-17.
Semium, Y. (2006). Kesehatan mental 3. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar