1.
Terapi
Psikoanalitik
Dalam aliran
Psikoanalisa, ada satu tokoh utama yang menjadi pelopor aliran ini yaitu
Sigmund Freud. Menurut Freud, perilaku manusia didasari oleh irrational force dan motivasi yang
berasal dari unconsciousness. Kepribadian
manusia dalam aliran ini terdiri dari id, ego, dan superego, yang mana ketiga
hal tersebut berkaitan satu sama lain dalam memengaruhi perilaku manusia.
Tujuan
Terapi
Tujuan dalam terapi
psikoanalisa Freudian adalah untuk membuat unconscious
menjadi conscious dan menguatkan
ego sehingga perilaku manusia akan lebih berdasarkan realita bukan berdasarkan
insting maupun rasa bersalah yang irasional.
Jenis-jenis
Terapi
a.
Asosiasi
Bebas
Teknik ini merupakan
jenis terapi utama yang ada dalam aliran psikoanalisa, dimana klien akan
diminta mengatakan apa pun yang ada dalam pikirannya. Tujuannya adalah agar
terapis dapat memahami apa makna yang tersembunyi dari kata-kata yang keluar
dari klien dan dapat memahami keinginan, fantasi, ataupun cita-cita yang
tersembunyi. Klien tetap diminta bercerita apa pun, terlepas dari seberapa
menyakitkan, memalukan, maupun traumatisnya hal tersebut. Dalam praktiknya,
klien biasanya diminta berbaring dan terapis akan duduk di belakangnya sehingga
klien akan merasa bebas untuk bercerita apa pun.
b.
Analisis
Mimpi
Dalam terapi psikoanalisa,
mimpi mempunyai arti penting yakni untuk mengungkap apa saja yang ada dalam ketidaksadaran
(unconsciousness) dan menampilkan
pemahaman klien terhadap permasalahan yang tidak terselesaikan. Mimpi merupakan
“jalan istimewa menuju ketidaksadaran (unconsciousness)”.
Melalui analisis mimpi, terapis dapat mengetahui berbagai harapan, kebutuhan,
dan ketakutan yang selama ini tersembunyi atau tersimpan dalam ketidaksadaran. Freud
meyakini bahwa berbagai motivasi dan ingatan yang tidak dapat diterima oleh ego
akan diekspresikan dengan bentuk simbol, yang sering muncul dalam mimpi.
c.
Analisis
Resistensi
Resistensi adalah
ketika klien tidak bersedia mengemukakan apa yang ia rasakan, tidak bersedia
untuk menghubungkan berbagai perasaan, pikiran, dan pengalaman tertentu,
sehingga hal tersebut menghambat proses terapi. Ketika klien menunjukkan
resistensi, hal ini diyakini Freud sebagai bentuk pertahanan klien untuk
mencegah kecemasan yang tidak dapat diterima.
d.
Analisis
Transferensi
Transferensi
adalah pemindahan emosi dari klien kepada terapis. Jadi, klien mentransfer
emosi-emosi yang ia rasakan untuk orang lain kepada terapisnya, terutama
emosi-emosi yang dirasakan dalam hubungan awal pada kehidupannya, yakni emosi
terhadap orangtuanya. Dari situlah terapis dapat menganalisa emosi apa saja
yang telah ditransfer klien terhadap terapis sehingga dapat memahami apa yang
klien rasakan terhadap orang yang dimaksud. Melalui hubungan klien dengan
terapis, klien mengekspresikan perasaan, keyakinan, dan hasrat yang selama ini
terpendam dalam ketidaksadaran.
2.
Terapi
Behavioristik
Prinsip utama aliran
behaviorisme adalah bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari proses belajar
dan respon dari sebuah stimulus.
Tujuan
Terapi
Tujuan dari terapi behavioristik
adalah untuk mengubah perilaku maladaptive menjadi perilaku yang lebih tepat
melalui proses belajar.
Jenis-jenis
Terapi
a.
Desensitisasi
Sistematis
Desensitisasi
sistematis ditujukan untuk klien yang mengalami kecemasan atau ketakutan yang
ekstrim terhadap persitiwa, orang, objek, atau memiliki ketakutan yang
digeneralisasi.m
Desensitisasi
sistematis dilakukan dengan 3 tahap, yaitu :
-
Relaksasi : klien diajari respon
relaksasi yang nantinya akan menggantikan respon kecemasan.
-
Hierarki kecemasan : peristiwa-peristiwa
yang membuat klien cemas akan ditelaah dan disusun berdasarkan tingkat kecemasan
yang muncul ketika peristiwa tersebut terjadi.
-
Desensitisasi : proses desensitisasi dimulai
ketika klien mencapai relaksasi penuh dengan mata tertutup lalu diminta
membayangkan hal yang membuatnya cemas namun dengan tingkatan yang paling
rendah, bila klien masih bisa relaks, klien diminta kembali membayangkan hal
yang memunculkan tingkat kecemasan lebih tinggi dari sebelumnya. Begitu
seterusnya dilakukan secara bertahap, hingga klien dapat mengatasi kecemasan
tersebut.
b.
In Vivo Exposure
Terapi ini dilakukan
dengan cara menempatkan klien pada kondisi nyata, atau menunjukkan objek yang
memunculkan kecemasan secara langsung di hadapan klien. Prosedurnya hampir sama
dengan desensitisasi sistematis, hanya berbeda dalam teknik pengkondisiannya.
Pada desensitisasi sistematis klien hanya diminta membayangkan, sementara pada
in-vivo exposure, klien ditempatkan pada kondisi nyata.
c.
Terapi
Asertif
Terapi ini bertujuan
untuk membuat seseorang menjadi lebih asertif dalam berbagai situasi sosial. Terapi
ini sesua untuk individu yang kesulitan dalam mengekspresikan perasaan,
keyakinan, dan pendapat, kesulitan untuk berkata “tidak”, terlalu baik kepada
semua orang sehingga ia sering dimanfaatkan, dsb.
3.
Terapi
Humanistik
Aliran humanistik memandang
manusia sebagai makhluk rasional, bertujuan, otonom, kreatif, dan mampu
mencapai insight terhadap realita.
Manusia pada dasarnya adalah baik, serta memiliki free will. Setiap manusia itu memiliki keunikan masing-masing dan
memiliki dorongan dasar untuk mencapai aktualisasi diri.
a.
Person-centered Therapy
Prinsip utama dari person-centered therapy adalah membuat
klien mencapai tingkat independensi dan intregasi yang lebih tinggi. Terapi ini
fokus kepada klien, bukan kepada masalah yang dimiliki klien. Artinya, terapi
ini akan membuat klien bisa mengatasi masalahnya sendiri, baik saat ini maupun
di masa yang akan datang. Jadi terapis hanya sebagai fasilitator yang membantu
klien memecahkan masalah.
SUMBER REFERENSI
Corey, G. (2009). Theory and practice of counseling and psychotherapy. 8th
ed. Belmont, USA : Thomson
Brooks/Cole.
Riyanti,
B.P. D., Prabowo, H. (1998). Psikologi umum 2. Jakarta:
Universitas Gunadarma.
Sharf, R. S. (2012). Theories of psychotherapy and counseling : concepts and cases. 5th ed. Belmont, USA : Brooks/Cole Cengange
Learning.