Juara 1 Tingkat Kabupaten dalam Lomba Cipta Cerpen FLS2N (Festival Lomba Seni Siswa Nasional) Tahun 2009
Karya : Rissa Septiani Mulyana
Sang
Surya tak lama lagi menyembunyikan
sinarnya. Lembayung berbias manja di langit sore, berganti dengan malam yang sunyi, malam yang penuh
kerlipan bintang. Lantunan adzan Maghrib baru saja
berkumandang, semua insan bersiap menghadap-Nya. Di sebuah desa yang jauh dari
keramaian, hiduplah seorang Nenek bersama cucunya tercinta di sebuah rumah
sederhana namun kelihatan begitu asri.
“Za,
mau ke mana? Mau pergi, ya? Sudah shalat belum?” tanya Sang Nenek.
“Reza
mau kerja kelompok di rumah Andi. Iya, sudah shalat kok, Nek!” jawab Reza.
“Eh,
jangan keluar rumah jam segini. Nanti ada sandekala yang mencelakai kamu!” kata
Nenek.
“Duh,
Nenek ini ada-ada saja! Apa sandekala? Itu hanya mitos!”
“Kamu
jangan bicara sembarangan, Nak!’
“Sudahlah,
Nek. Aku mau pergi saja, aku tak percaya mitos seperti itu. Pikiran Nenek
kuno!” Reza berlalu meninggalkan Nenek seorang diri.
“Anak
zaman sekarang kok susah sekali dinasehati, tidak seperti saat aku masih muda
pasti selalu nurut sama orang tua.” gerutu Nenek dan lalu kembali ke kamarnya.
Waktu
berlalu begitu cepat. Jam menunjukkan pukul 8 malam namun Reza belum pulang
jua, “Kemana cucu tercintaku? Ya Allah, lindungilah dia dari segala
marabahaya.” ujar Nenek dengan segenap kekhawatirannya. Beberapa saat kemudian
terdengar deru suara motor. Reza pulang.
“Akhirnya
kamu pulang juga, Nak. Kemana saja kamu, Za? Nenek khawatir terjadi apa-apa
denganmu! Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Nenek.
“Aduh,
Nek! Aku hanya pergi ke rumah Andi kok Nenek khawatir banget, sih? Lagipula aku
ke rumah Andi juga kan bukan untuk bermain tapi karena memang ada tugas yang
harus Reza kerjakan.”
“Tapi
kan kamu keluar rumah pas tadi Maghrib, terus pulang larut malam begini. Nenek
takut kamu dicelakai sandekala!”
“Nenek
suka berlebihan, deh! Nenek tuh terlalu percaya sama mitos-mitos seperti itu
yang gak ada gunanya!”
“Kamu
sembarangan bicara! Sandekala itu benar-benar ada!” ujar Nenek dengan suaranya
yang meninggi.
“Sudahlah,
Reza mau tidur saja daripada harus mendengar ocehan Nenek yang tak tentu
ujungnya!” ucap Reza sembari berlalu menuju kamarnya. Reza dengan pikiran
remaja seusianya tak bisa menerima begitu saja pendapat Nenek tentang mitos
itu, ia merasa bahwa mitos itu tak masuk akal dan hanya mengada-ada saja.
Sangat kontras dengan Nenek yang masih dipengaruhi kepercayaan semacam itu.
***
Pagi
menjelang, fajar menyingsing di ufuk timur, langit biru berhiaskan putihnya
gumpalan awan ditemani burung-burung menari di angkasa membuat pagi itu begitu
memesona. Reza sudah bersiap dengan seragam putih birunya, ia tergesa-gesa
mengenakan sepatu di teras rumahnya.
“Reza,
sarapan dulu! Nenek sudah menyiapkan makanan untukmu!” kata Nenek mengingatkan.
“Aduh,
Reza kesiangan, Nek! Gak bakal sempet buat sarapan dulu.”
“Dasar
kamu itu Cuma bisa melawan orang tua saja!” ucap Nenek ketus dengan wajah
kesal.
“Bukan
begitu, Nek! Reza kesiangan nih, kalau sarapan dulu pasti gak sempet. Lagipula
Reza bisa kok makan bakso di sekolah. Sudah ya, Nek! Reza berangkat dulu, assala’mualaikum...” ujar Reza seraya
berlalu untuk berangkat sekolah.
***
Bel
tanda masuk di sekolah Reza berteriak memanggil para siswa yang masih berada di
luar kelas. Reza setengah berlari menuju kelasnya, ia menaruh tasnya di meja.
“Huh,
hampir saja kesiangan!” ujar Reza dengan nafas terengah sambil menyeka keringat
di dahinya.
“Gak
biasanya kamu kesiangan, Za! Kenapa, nih?” tanya Dito, teman sebangku Reza.
“Aku
tidur terlalu larut, jadi deh bangun kesiangan. Udah gitu aku harus dengerin
dulu omelan Nenek!”
“Memang
karena apa?”
“Gara-gara
aku gak sarapan dulu.” Reza duduk di kursinya.
“Ya
wajar, dong. Mungkin dia khawatir sama kamu!”
“Nenek
aku tuh bisanya cuma ngomel. Kemarin aja waktu aku mau pergi ke rumah Andi,
Nenek malah bilang ‘pamali’ kalau
keluar rumah di waktu Maghrib, nanti kena sandekala.” ucap Reza dengan wajah
cemberut.
“Itu
kan kepercayaan orang tua zaman dulu. Pantas saja kalau Nenek kamu ngomel,
orang kamu perginya waktu Maghrib ya itu salah kamu sendiri, Za...”
“Ya
terus apa itu sandekala? Mitos macam apa itu? Sekarang sudah bukan zamannya
untuk memercayai mitos semacam itu. Kuno!” ujar Reza dengan nada ketus.
“Di
mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Kamu kan tinggal dengan nenekmu
yang masih percaya mitos-mitos semacam itu, otomatis kamu harus menghargai dan
menghormati kepercayaan nenekmu dan adat istiadat di lingkungan rumahmu.
Lagipula, kalau dipikir secara logika, mitos-mitos seperti itu ada manfaatnya
juga kok untuk kamu. Namun orang tua seperti nenekmu sering mengaitkannya dengan
hal-hal mistis sehingga semuanya seolah mustahil.” ujar Dito panjang lebar
dengan bijaknya.
“Kalau
kuno ya tetap saja kuno. Aku tak setuju! Mitos itu tak masuk akal!” Reza tetap
teguh dengan pendiriannya. Tak lama kemudian masuklah guru Fisika ke kelas
mereka. Seluruh siswa di kelas Reza sudah siap menerima pelajaran.
***
Bel
tanda pulang berbunyi. Seluruh siswa berhamburan bagai semut keluar dari
sarangnya, gelak tawa mengiringi langkah mereka sambil bercakap-cakap satu sama
lain. Namun sebaliknya dengan Reza, ia berjalan dengan lunglai laiknya tumbuhan
layu, wajahnya murung. Tasnya serasa menanggung beban yang sangat berat, di
benaknya sudah terbayang tugas-tugas akhir semester menumpuk menantinya. Ia
bertekad dalam hatinya bahwa nilai-nilainya di semester ini harus tetap
dipertahankan. Ia tidak menghendaki peringkat satu di kelasnya jatuh ke tangan
orang lain. Reza merasakan bahwa persaingan di sekolahnya sangat berat.
Jam
menunjukan pukul 14.00, sesampainya di rumah, Reza melempar begitu saja tas
sekolahnya ke kamar. Terik mentari siang itu membuatnya mandi keringat, ia tak
kuat menahan rasa dahaga. Tak sempat ganti baju, ia langsung mengerjakan
tugas-tugasnya.
“Za,
makan siang dulu. Jangan langsung mengerjakan tugas!” tukas Nenek.
“Reza
sudah makan bakso di sekolah jadi sudah kenyang, Nek!”
“Tadi
pagi kan kamu gak sarapan. Cuma makan bakso ya tidak cukup.”
“Ah,
Reza belum mau makan. Lagipula Reza punya banyak tugas yang harus
diselesaikan.” Reza tak mengindahkan kata-kata Nenek. Ia tetap fokus pada tugas-tugasnya.
***
Mentari
bersembunyi di ujung senja, temaram menyapa sang malam, berujar selamat tinggal
pada penghuni bumi. Burung-burung kembali menuju sarangnya, suara-suara
serangga bersahutan bak alunan simfoni nan indah. Adzan Maghrib tak lama lagi kan
berkumandang namun Reza tampak akan bepergian.
“Reza,
kamu mau kemana? Sebentar lagi kan waktunya shalat Maghrib. Jangan keluar rumah
sekaran, ‘pamali’, nanti kamu kena
sandekala!” ujar Nenek dengan wajah dan nada cemas.
“Tuh,
kan! Sandekala lagi, sandekala lagi. Aku capek mendengar mitos itu, Nek!” Reza
cemberut.
“Eh,
dengarkan kata-kata Nenek! Kalau kamu kena akibatnya, baru tahu rasa!” ucap
Nenek.
“Ah,
Nenek selalu begitu. Reza mau ke warnet, mau cari bahan untuk tugas Bahasa
Indonesia yang harus selesai besok.”
“Kan
ke warnetnya bisa nanti malam!”
“Kalau
nanti malam pasti tidak sempat, Nek! Masih banyak tugas yang harus Reza
selesaikan. Sudahlah, aku pergi ya, Nek!” ujar Reza seraya pergi meninggalkan
rumah.
“Reza,
kamu jangan pergi jam segini!” teriak Nenek namun usahanya sia-sia, Reza tak
menghiraukannya.
Tak
lama kemudian adzan maghrib berkumandang, memanggil seluruh muslim untuk
menghadap Yang Kuasa. Setelah menunaikan shalat Maghrib, Nenek setia menunggu
Reza pulang. Langit malam itu melukiskan suasana hatinya yang gelisah. “Reza,
kamu kemana? Nenek cemas. Semoga kamu tak apa-apa, Nak!” gumam Nenek dalam
hati.
Jam
menunjukan pukul 21.00 namun Reza belum
juga kembali ke rumah. Nenek semakin cemas, ia mondar-mandir di ruang tengah
menunggu kepulangan Reza. Sesekali dibukanya tirai jendela dan menatap keluar
namun tak dilihatnya batang hidung Reza.
Di
tengah kekhawatirannya terdengar deru suara motor. Nenek merasa lega, ia segera
membuka pintu.
“Akhirnya
kamu pulang juga, Za!” gumam Nenek dalam hati. Seraya tersenyu Nenek membuka
pintu namun apa yang terjadi? Yang dilihatnya bukanlah Reza, melainkan seorang
pemuda yang sama sekali tak dikenalnya.
“Apa
benar ini rumah Reza?” tanya pemuda tersebut. Nenek merasa bingung.
“Ya,
benar. Saya neneknya, kebetulan Reza sedang keluar rumah. Ada perlu apa ya,
Nak?” Nenek balik bertanya.
“Begini,
Nek...saya mau memberi tahu Nenek bahwa Reza sekarang ada di rumah sakit. Tadi
dia pingsan di warnet.” ujar pemuda itu.
“Apa?
Reza ada di rumah sakit? Dia pingsan?” Nenek terkejut. Mendadak wajahnya pucat
bagai mayat, lututnya serasa lemas bagai disambar petir. Di saat situasi
seperti itu, terdengar telepon berdering, Nenek segera mengangkat telepon dan
pemuda itu berpamitan untuk pulang.
“Assalamu’alaikum, Bu! Ini Asri. Bagaimana
kabar Ibu? Asri mau bicara sama Reza. Reza belum tidur kan, Bu?” di seberang
sana, Mama Reza menelepon. Namun Nenek hanya terdiam laiknya patung, tak
sepatah kata pun diucapkannya lalu ia menangis terisak.
“Bu,
kok nangis? Ibu kenapa? Reza ada kan, Bu? Ibu kenapa nangis? Bu, jawab! Ibu
kenapa?” Mama Reza kian panik mendengar Nenek menangis.
“Re...reza
sekarang ada di rumah sakit...” ujar Nenek terbata-bata.
“Apa?
Reza ada di rumah sakit? Dia kenapa? Ibu kenapa baru ngasih tahu sekarang?
Bagaimana keadaannya?”
“Ibu
juga baru menerima kabar itu tadi, Nak. Teman Reza yang memberi tahu Ibu, jadi
Ibu juga belum tahu bagaimana keadaannya sekarang.”
“Mana
mungkin Reza ada di rumah sakit, tadi sore dia baik-baik saja waktu menelepon
Asri, Bu...”
“Ibu
juga belum tahu pasti. Sekarang juga Ibu akan pergi ke rumah sakit.”
“Iya
malam ini juga Asri akan pulang, Bu. Asri khawatir dengan keadaannya...” ujar
Mama Reza, Nenek pun segera bergegas menuju rumah sakit. Hatinya dag dig dug tak karuan, pikirannya
kacau.
***
Aroma
obat menusuk hidung, tempat itu ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang
dengan raut wajah tegang. Begitu pula dengan Nenek, ia segera pergi menuju
ruangan dimana Reza berada. Dilihatnya Reza terkulai lemah di atas ranjang,
tiang infusan terlihat di samping kanan Reza terbaring. Nenek memeluk Reza
sambil menangis.
“Reza,
kamu kenapa? Pasti kamu kena sandekala!” kata Nenek, namun Reza masih belum
sadar. Ucapan Nenek sempat terdengar oleh Mama Reza yang sudah tiba di ruangan
itu.
“Ibu
bicara apa, sih? Jangan ngawur, itu hanya mitos, Bu!” kata Mama. Tiba-tiba
seorang lelaki berseragam jas putih dengan stetoskop menggantung di lehernya
masuk ruangan itu.
“Ini
hasil pemeriksaan Reza. Ia terkena penyakit Tifus. Sepertinya ia kurang
memerhatikan pola makan dan kurang menjaga kesehatan. Reza harus banyak
istirahat dan yang paling penting ia harus banyak minum.”
“Oh
iya terima kasih, Dokter...” kata Papa Reza yang juga ada di sana. Dokter
berlalu meninggalkan mereka.
***
Pagi
menyapa. Udara dingin menyelimuti, si jengger merah baru saja berkokok
membangunkan semua orang dari alam mimpi. Reza masih terbaring di atas ranjang
namun wajahnya nampak lebih segar dari hari-hari sebelumnya.
“Gimana,
Za? Udah baikan?” tanya Papa Reza.
“Alhamdulillah,
Pa! Kepala Reza udah gak pusing lagi, perut juga udah agak enakan.” jawab Reza.
“Makan
dulu ya, nanti minum obat!”
“Iya,
Pa...” ujar Reza, “Mmmm, Pa.. apa betul Reza dicelakai sandekala?” tanya Reza
penasaran.
“Ha
ha ha...kok kamu jadi terpengaruh oleh Nenek? Tapi sepertinya
ucapan Nenek ada benarnya juga.”
“Jadi
Reza benar-benar dicelakai sandekala?” tanya Reza dengan wajah terkejut.
“Bukan
begitu, Za...mitos sandekala itu tidak berhubungan dengan hal mistis, kok!”
“Nah,
terus sandekala itu apa, Pa?”
“Begini,
‘sande’ berarti gelap dan ‘kala’ berarti waktu. Jadi pada
pergantian waktu sore ke malam hari tepatnya saat Maghrib, kurang baik untuk
kita bepergian keluar rumah karena semestinya pada waktu itu orang-orang
beribadah dan beristirahat, dan lagi angin sore kurang baik untuk kesehatan.
Namun orang tua zaman dulu mengaitkan mitos itu dengan hal-hal mistis.”
“Oh
iya, Pa! Ternyata masuk akal juga. Sekarang Reza mengerti.” ujar Reza seraya
mengukir senyum.
“Kamu
harus memaklumi Nenek, sebenarnya itu hanyalah bentuk kekhawatirannya untuk
kamu sebagai cucunya.” Papa menasihati.
“Iya tentu, Pa! Kalau
dijelaskan seperti ini, aku jadi mengerti!” ucap Reza. Kini ia menyadari
kesalahannya yang sering keluar malam. Ia sekarang bisa mengerti apa yang Nenek
yakini tentang mitos semacam itu, hanya salah dalam penyampaiannya saja yang
membuat Reza merasa bahwa semua itu tak masuk akal. Papa memeluk Reza dengan
penuh kasih sayang, ia meyakinkan Reza bahwa semua itu hanyalah bentuk kasih
sayang seorang nenek untuk cucunya.
***