Sabtu, 29 November 2014

Lingkaran Setan

Karya : Rissa S Mulyana

Tengkorakmu batu
Pun lembek serupa durian
Cantik lah paras
Terang mata berbinar
Elok berpasang mata tancap pandang
Pertiwi.

Gunting kepala gunting
Pisau bermata runcing
Putus, tebas, bakar!
Lingkaran setan di bumi pertiwi
Berotasi serupa beliung.

Margonda, 18 Okt 2014

Rabu, 08 Oktober 2014

SANDEKALA

Juara 1 Tingkat Kabupaten dalam Lomba Cipta Cerpen FLS2N (Festival Lomba Seni Siswa Nasional) Tahun 2009

Karya : Rissa Septiani Mulyana

Sang Surya tak lama lagi  menyembunyikan sinarnya. Lembayung berbias manja di langit sore, berganti dengan malam  yang sunyi, malam  yang  penuh  kerlipan  bintang. Lantunan adzan Maghrib baru saja berkumandang, semua insan bersiap menghadap-Nya. Di sebuah desa yang jauh dari keramaian, hiduplah seorang Nenek bersama cucunya tercinta di sebuah rumah sederhana namun kelihatan begitu asri.
“Za, mau ke mana? Mau pergi, ya? Sudah shalat belum?” tanya Sang Nenek.
“Reza mau kerja kelompok di rumah Andi. Iya, sudah shalat kok, Nek!” jawab Reza.
“Eh, jangan keluar rumah jam segini. Nanti ada sandekala yang mencelakai kamu!” kata Nenek.
“Duh, Nenek ini ada-ada saja! Apa sandekala? Itu hanya mitos!”
“Kamu jangan bicara sembarangan, Nak!’
“Sudahlah, Nek. Aku mau pergi saja, aku tak percaya mitos seperti itu. Pikiran Nenek kuno!” Reza berlalu meninggalkan Nenek seorang diri.
“Anak zaman sekarang kok susah sekali dinasehati, tidak seperti saat aku masih muda pasti selalu nurut sama orang tua.” gerutu Nenek dan lalu kembali ke kamarnya.
Waktu berlalu begitu cepat. Jam menunjukkan pukul 8 malam namun Reza belum pulang jua, “Kemana cucu tercintaku? Ya Allah, lindungilah dia dari segala marabahaya.” ujar Nenek dengan segenap kekhawatirannya. Beberapa saat kemudian terdengar deru suara motor. Reza pulang.
“Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Kemana saja kamu, Za? Nenek khawatir terjadi apa-apa denganmu! Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Nenek.
“Aduh, Nek! Aku hanya pergi ke rumah Andi kok Nenek khawatir banget, sih? Lagipula aku ke rumah Andi juga kan bukan untuk bermain tapi karena memang ada tugas yang harus Reza kerjakan.”
“Tapi kan kamu keluar rumah pas tadi Maghrib, terus pulang larut malam begini. Nenek takut kamu dicelakai sandekala!”
“Nenek suka berlebihan, deh! Nenek tuh terlalu percaya sama mitos-mitos seperti itu yang gak ada gunanya!”
“Kamu sembarangan bicara! Sandekala itu benar-benar ada!” ujar Nenek dengan suaranya yang meninggi.
“Sudahlah, Reza mau tidur saja daripada harus mendengar ocehan Nenek yang tak tentu ujungnya!” ucap Reza sembari berlalu menuju kamarnya. Reza dengan pikiran remaja seusianya tak bisa menerima begitu saja pendapat Nenek tentang mitos itu, ia merasa bahwa mitos itu tak masuk akal dan hanya mengada-ada saja. Sangat kontras dengan Nenek yang masih dipengaruhi kepercayaan semacam itu.
***
Pagi menjelang, fajar menyingsing di ufuk timur, langit biru berhiaskan putihnya gumpalan awan ditemani burung-burung menari di angkasa membuat pagi itu begitu memesona. Reza sudah bersiap dengan seragam putih birunya, ia tergesa-gesa mengenakan sepatu di teras rumahnya.
“Reza, sarapan dulu! Nenek sudah menyiapkan makanan untukmu!” kata Nenek mengingatkan.
“Aduh, Reza kesiangan, Nek! Gak bakal sempet buat sarapan dulu.”
“Dasar kamu itu Cuma bisa melawan orang tua saja!” ucap Nenek ketus dengan wajah kesal.
“Bukan begitu, Nek! Reza kesiangan nih, kalau sarapan dulu pasti gak sempet. Lagipula Reza bisa kok makan bakso di sekolah. Sudah ya, Nek! Reza berangkat dulu, assala’mualaikum...” ujar Reza seraya berlalu untuk berangkat sekolah.
***
Bel tanda masuk di sekolah Reza berteriak memanggil para siswa yang masih berada di luar kelas. Reza setengah berlari menuju kelasnya, ia menaruh tasnya di meja.
“Huh, hampir saja kesiangan!” ujar Reza dengan nafas terengah sambil menyeka keringat di dahinya.
“Gak biasanya kamu kesiangan, Za! Kenapa, nih?” tanya Dito, teman sebangku Reza.
“Aku tidur terlalu larut, jadi deh bangun kesiangan. Udah gitu aku harus dengerin dulu omelan Nenek!”
“Memang karena apa?”
“Gara-gara aku gak sarapan dulu.” Reza duduk di kursinya.
“Ya wajar, dong. Mungkin dia khawatir sama kamu!”
“Nenek aku tuh bisanya cuma ngomel. Kemarin aja waktu aku mau pergi ke rumah Andi, Nenek malah bilang ‘pamali’ kalau keluar rumah di waktu Maghrib, nanti kena sandekala.” ucap Reza dengan wajah cemberut.
“Itu kan kepercayaan orang tua zaman dulu. Pantas saja kalau Nenek kamu ngomel, orang kamu perginya waktu Maghrib ya itu salah kamu sendiri, Za...”
“Ya terus apa itu sandekala? Mitos macam apa itu? Sekarang sudah bukan zamannya untuk memercayai mitos semacam itu. Kuno!” ujar Reza dengan nada ketus.
“Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Kamu kan tinggal dengan nenekmu yang masih percaya mitos-mitos semacam itu, otomatis kamu harus menghargai dan menghormati kepercayaan nenekmu dan adat istiadat di lingkungan rumahmu. Lagipula, kalau dipikir secara logika, mitos-mitos seperti itu ada manfaatnya juga kok untuk kamu. Namun orang tua seperti nenekmu sering mengaitkannya dengan hal-hal mistis sehingga semuanya seolah mustahil.” ujar Dito panjang lebar dengan bijaknya.
“Kalau kuno ya tetap saja kuno. Aku tak setuju! Mitos itu tak masuk akal!” Reza tetap teguh dengan pendiriannya. Tak lama kemudian masuklah guru Fisika ke kelas mereka. Seluruh siswa di kelas Reza sudah siap menerima pelajaran.
***
Bel tanda pulang berbunyi. Seluruh siswa berhamburan bagai semut keluar dari sarangnya, gelak tawa mengiringi langkah mereka sambil bercakap-cakap satu sama lain. Namun sebaliknya dengan Reza, ia berjalan dengan lunglai laiknya tumbuhan layu, wajahnya murung. Tasnya serasa menanggung beban yang sangat berat, di benaknya sudah terbayang tugas-tugas akhir semester menumpuk menantinya. Ia bertekad dalam hatinya bahwa nilai-nilainya di semester ini harus tetap dipertahankan. Ia tidak menghendaki peringkat satu di kelasnya jatuh ke tangan orang lain. Reza merasakan bahwa persaingan di sekolahnya sangat berat.
Jam menunjukan pukul 14.00, sesampainya di rumah, Reza melempar begitu saja tas sekolahnya ke kamar. Terik mentari siang itu membuatnya mandi keringat, ia tak kuat menahan rasa dahaga. Tak sempat ganti baju, ia langsung mengerjakan tugas-tugasnya.
“Za, makan siang dulu. Jangan langsung mengerjakan tugas!” tukas Nenek.
“Reza sudah makan bakso di sekolah jadi sudah kenyang, Nek!”
“Tadi pagi kan kamu gak sarapan. Cuma makan bakso ya tidak cukup.”
“Ah, Reza belum mau makan. Lagipula Reza punya banyak tugas yang harus diselesaikan.” Reza tak mengindahkan kata-kata Nenek. Ia tetap fokus pada tugas-tugasnya.
***
Mentari bersembunyi di ujung senja, temaram menyapa sang malam, berujar selamat tinggal pada penghuni bumi. Burung-burung kembali menuju sarangnya, suara-suara serangga bersahutan bak alunan simfoni nan indah. Adzan Maghrib tak lama lagi kan berkumandang namun Reza tampak akan bepergian.
“Reza, kamu mau kemana? Sebentar lagi kan waktunya shalat Maghrib. Jangan keluar rumah sekaran, ‘pamali’, nanti kamu kena sandekala!” ujar Nenek dengan wajah dan nada cemas.
“Tuh, kan! Sandekala lagi, sandekala lagi. Aku capek mendengar mitos itu, Nek!” Reza cemberut.
“Eh, dengarkan kata-kata Nenek! Kalau kamu kena akibatnya, baru tahu rasa!” ucap Nenek.
“Ah, Nenek selalu begitu. Reza mau ke warnet, mau cari bahan untuk tugas Bahasa Indonesia yang harus selesai besok.”
“Kan ke warnetnya bisa nanti malam!”
“Kalau nanti malam pasti tidak sempat, Nek! Masih banyak tugas yang harus Reza selesaikan. Sudahlah, aku pergi ya, Nek!” ujar Reza seraya pergi meninggalkan rumah.
“Reza, kamu jangan pergi jam segini!” teriak Nenek namun usahanya sia-sia, Reza tak menghiraukannya.
Tak lama kemudian adzan maghrib berkumandang, memanggil seluruh muslim untuk menghadap Yang Kuasa. Setelah menunaikan shalat Maghrib, Nenek setia menunggu Reza pulang. Langit malam itu melukiskan suasana hatinya yang gelisah. “Reza, kamu kemana? Nenek cemas. Semoga kamu tak apa-apa, Nak!” gumam Nenek dalam hati.
Jam menunjukan pukul 21.00 namun  Reza belum juga kembali ke rumah. Nenek semakin cemas, ia mondar-mandir di ruang tengah menunggu kepulangan Reza. Sesekali dibukanya tirai jendela dan menatap keluar namun tak dilihatnya batang hidung Reza.
Di tengah kekhawatirannya terdengar deru suara motor. Nenek merasa lega, ia segera membuka pintu.
“Akhirnya kamu pulang juga, Za!” gumam Nenek dalam hati. Seraya tersenyu Nenek membuka pintu namun apa yang terjadi? Yang dilihatnya bukanlah Reza, melainkan seorang pemuda yang sama sekali tak dikenalnya.
“Apa benar ini rumah Reza?” tanya pemuda tersebut. Nenek merasa bingung.
“Ya, benar. Saya neneknya, kebetulan Reza sedang keluar rumah. Ada perlu apa ya, Nak?” Nenek balik bertanya.
“Begini, Nek...saya mau memberi tahu Nenek bahwa Reza sekarang ada di rumah sakit. Tadi dia pingsan di warnet.” ujar pemuda itu.
“Apa? Reza ada di rumah sakit? Dia pingsan?” Nenek terkejut. Mendadak wajahnya pucat bagai mayat, lututnya serasa lemas bagai disambar petir. Di saat situasi seperti itu, terdengar telepon berdering, Nenek segera mengangkat telepon dan pemuda itu berpamitan untuk pulang.
Assalamu’alaikum, Bu! Ini Asri. Bagaimana kabar Ibu? Asri mau bicara sama Reza. Reza belum tidur kan, Bu?” di seberang sana, Mama Reza menelepon. Namun Nenek hanya terdiam laiknya patung, tak sepatah kata pun diucapkannya lalu ia menangis terisak.
“Bu, kok nangis? Ibu kenapa? Reza ada kan, Bu? Ibu kenapa nangis? Bu, jawab! Ibu kenapa?” Mama Reza kian panik mendengar Nenek menangis.
“Re...reza sekarang ada di rumah sakit...” ujar Nenek terbata-bata.
“Apa? Reza ada di rumah sakit? Dia kenapa? Ibu kenapa baru ngasih tahu sekarang? Bagaimana keadaannya?”
“Ibu juga baru menerima kabar itu tadi, Nak. Teman Reza yang memberi tahu Ibu, jadi Ibu juga belum tahu bagaimana keadaannya sekarang.”
“Mana mungkin Reza ada di rumah sakit, tadi sore dia baik-baik saja waktu menelepon Asri, Bu...”
“Ibu juga belum tahu pasti. Sekarang juga Ibu akan pergi ke rumah sakit.”
“Iya malam ini juga Asri akan pulang, Bu. Asri khawatir dengan keadaannya...” ujar Mama Reza, Nenek pun segera bergegas menuju rumah sakit. Hatinya dag dig dug tak karuan, pikirannya kacau.
***
Aroma obat menusuk hidung, tempat itu ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang dengan raut wajah tegang. Begitu pula dengan Nenek, ia segera pergi menuju ruangan dimana Reza berada. Dilihatnya Reza terkulai lemah di atas ranjang, tiang infusan terlihat di samping kanan Reza terbaring. Nenek memeluk Reza sambil menangis.
“Reza, kamu kenapa? Pasti kamu kena sandekala!” kata Nenek, namun Reza masih belum sadar. Ucapan Nenek sempat terdengar oleh Mama Reza yang sudah tiba di ruangan itu.
“Ibu bicara apa, sih? Jangan ngawur, itu hanya mitos, Bu!” kata Mama. Tiba-tiba seorang lelaki berseragam jas putih dengan stetoskop menggantung di lehernya masuk ruangan itu.
“Ini hasil pemeriksaan Reza. Ia terkena penyakit Tifus. Sepertinya ia kurang memerhatikan pola makan dan kurang menjaga kesehatan. Reza harus banyak istirahat dan yang paling penting ia harus banyak minum.”
“Oh iya terima kasih, Dokter...” kata Papa Reza yang juga ada di sana. Dokter berlalu meninggalkan mereka.
***
Pagi menyapa. Udara dingin menyelimuti, si jengger merah baru saja berkokok membangunkan semua orang dari alam mimpi. Reza masih terbaring di atas ranjang namun wajahnya nampak lebih segar dari hari-hari sebelumnya.
“Gimana, Za? Udah baikan?” tanya Papa Reza.
“Alhamdulillah, Pa! Kepala Reza udah gak pusing lagi, perut juga udah agak enakan.” jawab Reza.
“Makan dulu ya, nanti minum obat!”
“Iya, Pa...” ujar Reza, “Mmmm, Pa.. apa betul Reza dicelakai sandekala?” tanya Reza penasaran.
“Ha ha ha...kok  kamu  jadi terpengaruh oleh Nenek? Tapi sepertinya ucapan Nenek ada benarnya juga.”
“Jadi Reza benar-benar dicelakai sandekala?” tanya Reza dengan wajah terkejut.
“Bukan begitu, Za...mitos sandekala itu tidak berhubungan dengan hal  mistis, kok!”
“Nah, terus sandekala itu apa, Pa?”
“Begini, ‘sande’ berarti gelap dan ‘kala’ berarti waktu. Jadi pada pergantian waktu sore ke malam hari tepatnya saat Maghrib, kurang baik untuk kita bepergian keluar rumah karena semestinya pada waktu itu orang-orang beribadah dan beristirahat, dan lagi angin sore kurang baik untuk kesehatan. Namun orang tua zaman dulu mengaitkan mitos itu dengan hal-hal mistis.”
“Oh iya, Pa! Ternyata masuk akal juga. Sekarang Reza mengerti.” ujar Reza seraya mengukir senyum.
“Kamu harus memaklumi Nenek, sebenarnya itu hanyalah bentuk kekhawatirannya untuk kamu sebagai cucunya.” Papa menasihati.
“Iya tentu, Pa! Kalau dijelaskan seperti ini, aku jadi mengerti!” ucap Reza. Kini ia menyadari kesalahannya yang sering keluar malam. Ia sekarang bisa mengerti apa yang Nenek yakini tentang mitos semacam itu, hanya salah dalam penyampaiannya saja yang membuat Reza merasa bahwa semua itu tak masuk akal. Papa memeluk Reza dengan penuh kasih sayang, ia meyakinkan Reza bahwa semua itu hanyalah bentuk kasih sayang seorang nenek untuk cucunya.
***

Senin, 29 September 2014

Langit Malam Margonda

Karya : Rissa S Mulyana

Angin tetaplah angin
Bersamanya mengudaralah selaksa rinduku di penghujung malam
Amboi, sejauh mata memandang,
atap-atap beton bersusah payah mencengkeram langit!
Sedang lampu-lampu jalanan tepat melempar cahaya pada hitam aspal.

Ini Sabtu malam!
Jantung kota hebat berdegup karenanya
00:38, belum saatnya mati dibuai mimpi.
Ini Sabtu malam!
Semua sibuk berusaha kelihatan sibuk
Sendiri adalah keterasingan dan guyonan

Ini zaman milenium!
Ketika cinta sudah tak mengenal malu
Ketika sebuah negeri ditusuk punggawanya sendiri
Ketika kacang tak lagi berkulit
Ketika kau, aku, sudah lupa indahnya desa

Ini panorama bukan asal tangkapan lensa
Ini malam di sebuah kota
Langit Margonda
Sejengkal dari Jakarta
Jutaan langkah kaki dari ayah-ibu


Margonda, 28 Sept 2014 00:38